Laporan Akhir
Disusun oleh
Kelompok
III
UNIT
I
JURUSAN
PENDIDIKAN BIOLOGI
FAKULTAS
TARBIYAH DAN
KEGURUAN
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI AR-RANIRY
DARUSSALAM-BANDA
ACEH
2014/2015
LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM
FISIOLOGI HEWAN
FISIOLOGI HEWAN
Disusun
Oleh :
UNIT
I
KELOMPOK
: III
DEVI SUSANTI NIM: 281223092
DESSRI WAHYUNI NIM:
281223096
LISNA YANTI NIM: 281223094
INDRI YETTI NIM
: 281223093
SRI AYU FITRIA NIM: 281223097
Laporan
ini telah diperiksa dan disetujui oleh,
Koordinator Asisten Meja
Ernilasari,
S.Pd.I
Rosita, S.Pd. I
Dosen Pembimbing
Ayu Nirmala Sari, S.Pd. M. Si
KATA
PENGANTAR
Puji
syukur penulis panjatkan kehadirat ALLAH swt yang telah melimpahkan rahmat,
taufiq dan hidayah-Nya dan shalawat dan salamaa kedapa nabi kita Muhammad saw, sehingga kami dapat menyelesaikan laporan ini dengan baik. Laporan
ini diharapkan mampu membantu penulis
dan mahasiswa lainnya dalam memperdalam mata kuliah “Fisiologi Hewan”
dalam kegiatan belajar.
Kami
berharap laporan ini dapat memenuhi persyaratan dan bisa diterima oleh masyarakat
banyak. Meskipun laporan ini masih jauh dari suatu nilai kesempurnaan karena
keterbatasan pengetahuan kami dengan segenap kesadaran diri penulis sangat
mengharapkan saran dan kritik para pembaca yang dapat membantu kami untuk lebih
memahami pengkajian ini.
Akhir kata, kami mengucapkan banyak terima kasih kepada Dosen, Laboran, Koordinator, Asisten Meja
dan para pembaca yang sudah berkenan
membaca laporan ini dengan tulus ikhlas. Semoga laporan ini bermanfaat,
khususnya bagi kami, mahasiswa-mahasiswi Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Biologi dan pembaca umum lainnya. Amin.
Banda Aceh, 12 Januari 2015
Penulis
DAFTAR
ISI
Lembar Pengesahan................................................................................................ i
Kata Pengantar........................................................................................................ ii
Daftar Isi................................................................................................................... iii
Percobaan I :
Difusi dan Osmisis............................................................................. 1
Percobaan II :
Pencernaan Enzimatis (Kerja Enzim Saliva)...................................... 7
Percobaan III :
Sensori (Indera Pengecap)................................................................ 14
Percobaan IV :
Kecepatan Respirasi pada Ikan......................................................... 18
Percobaan V : Toleransi
Hewan terhadap Salinitas.................................................. 25
Percobaan VI : Sel Darah Merah pada berbagai Konsentrasi Garam........................ 32
(Rangsangan Tunggal dan Rangsangan Berturut-turut)................... 39
Daftar
Pustaka......................................................................................................... 44
PERCOBAAN
: I
I.
Judul Praktikum :
Difusi dan Osmosis
II.
Tanggal Praktikum :
18 November 2014
III.
Tujuan Praktikum : 1.
Untuk dapat mengetahui proses berlangsungnya
difusi.
2.
Untuk dapat mengetahui perose berlangsungnya
osmosis.
IV.
Dasar Teori :
Pergerakan
molekul-molekul antara satu sama lainnya yang terjadi secara terus menerus di
dalam cairan, atau gas dinamkan difusi. Selain itu, difusi juga disebut sebagai
proses berpindahnya zat terlarut dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi yang
rendah. Ion-ion berdifusi dengan cara yang sama seperti molekul, dan malahan
partikel koloid suspense berdifusi dalam arah yang sama, kecuali karena
ukurannya yang sangat besar. Hal ini akan menyebabkan pertikel koloid akan
berdifusi secara lambat.[1]
Faktor-faktor
yang mempengaruhi difusivitas diantaranya adalah suhu dan kadar air. Semakin
tinggi tingkat difusivitas air, maka semakin mudah melewatkan air
(masuk/keluar). Hal ini dapat dilihat pada proses perendaman kacang merah.
Difusivitas air yang tinggi ada proses perendaman kacang merah akan
mengakibatkan kadar air kacang merah akan semakin tinggi, sehingga dapat
berpengaruh pada pertambahan berat dan dimensi. Selain itu, pada suhu yang
tinggi juga akan menyebabkan penyerapan air lebih tinggi.[2]
Penelitian
mengenai difusi pada membran kulit berfungsi untuk mengetahui bagaimana fluks
obat melintasi kulit. Untuk mengkaji difusi pada membran kulit dapat digunakan
suatu membran buatan yang menyerupai sifat kulit seperti selulosa asetat, karet
silikon, isopropil miristat atau membran cangkang telur. Di dalam penelitian
ini digunakan membran yang dibacam dngan digunakan cairan spanger. Hal ini
dilakukan karena komponen di dalam cairan spanger menyerupai kondisi kulit
manusia. Meskipun mempunyai sifat yang menyerupai kulit, akan tetapi
bahan-bahan tersebut tidak memiliki sifat yang sekompleks kulit yang
sebenarnya.[3]
Osmosis
adalah difusi saring molekul melalui membran permeable salektif, yaitu membran
yang tidak dapat dilewati secara bebas oleh semua zat terlarut yang ada. Zat
yang tidak dapat berdifusi harus memiliki konsentrasi yang lebih tinggi di
suatu sisi membran dibandingkan pada sisi lainnya. Pada proses osmosis air akan
bergerak menembus membrane dari area berkonsentrasi air tinggi ke area
konsentrasi air lebih rendah. Osmosis molekul air ke dalam larutan yang lebih
kental (konsentrasi air lebih rendah) meningkatkan volume tekanan hidrolisis
air.[4]
V.
Alat
dan Bahan :
a. Alat :
1. Pipa
kapiler berskala
2. Gelas
beker
3. Petridist
4. Alat
bedah
b. Bahan :
1. Benang
2. Usus
katak
3. Telur
ayam
4. Larutan
yudium 500 ml
5. Larutan
glukosa 500 ml
6. Asam
asetat pekat
7. Larutan
sukrosa/garam 10%, 15%, 20% dan 25%
8. Aquadest
VI.
Cara
Kerja :
A. Difusi
1. Usus
katak dipotong, kemudian dibersihkan dari makanan yang ada di dalamnya.
2. Diisi
larutan glukosa di dalam usus tersebut, kemuadian di bagian permukaannya diikat
dan di bagian luar dibersihkan smpai bersih.
3. Diambil
cawan petridist, diisi dengan larutan yodium, kemudian usus tersebut diletakkan
di atas larutan tersebut.
4. Diamati
perubahan yang terjadi.
B. Osmosis
1. Direndam
telur ayam dengan asam asetat pekat selama 48 jam sebelum percobaan, diambil
selaput dalam telur dengan hati-hati lalu dicuci.
2. Diikat
selaput telur tersebut pada pipa berskala/pipa osmometer, kemudian diisi
larutan sukrosa/garam masing-masing dengan konsentrasi 10%, 15%, 20%, dan 25%.
3. Rangkaian
alat tersebut diletakkan di dalam gelas beker yang telah diisi dengan aquadest.
4. Diamati
perubahan yang terjadi.
VII. Hasil Pengamatan :
Gambar : Pipa osmometer
(Larutan Sukrosa 20%)
Keterangan :
1.
Pipa osmometer
2.
Gelas beker
3.
Benang
4.
Selaput dalam telur
5.
Statip
6.
Aquadest
Tabel 1.1 Hasil
Pengamatan Percobaan tentang Osmosis
No.
|
Pengamatan/Konsentrasi
|
Waktu
|
Volume Air
dalam Pipa
|
1.
|
Kelompok I/ 10%
|
15 menit
|
–
|
2.
|
Kelompok II/ 15%
|
15 menit
|
2,5 cm
|
3.
|
Kelompok III/ 20%
|
15 menit
|
5 cm
|
4.
|
Kelompok IV/ 25%
|
15 menit
|
–
|
5.
|
Kelompok V/ 30%
|
< 15 menit
|
1,25 cm
|
VIII.
Pembahasan :
Berdasarkan
dari hasil pengamatan, dapat diketahui bahwa difusi merupakan proses
perpindahan atau pergerakan molekul zat terlarut dari yang konsentrasi tinggi
ke konsentrasi rendah. Proses difusi akan berlangsung secara terus menerus dan
baru akan berakhir apabila molekul sudah merata dikedua daerah tersebut.
Sedangkan osmosis merupakan proses perpindahan atau pergerkan molekul zat
pelarut dari larutan yang berkonsentrasi zat pelarutnya tinggi menuju ke
larutan yang konsentrasi zat pelarutnya rendah yang melalui membran selektif
permeabel, misalnya pada membrane selaput dalam telur.
Berdasarkan
hasil pengamatan yang dilakukan pada membran selaput dalam telur yang
dimasukkan larutan sukrosa dengan konsentrasi yang berbeda-beda, yaitu 10%,
15%, 20%, 25% dan 30%. Pada membran selaput dalam telur yang dimasukkan larutan
sukrosa 10% pada 15 menit pertama volume air di dalam pipa osmometer tidak
naik. Hal ini mungkin disebabkan karena pada membran selaput dalam telur
tersebut masih terdapat cangkangnya. Membran selaput dalam telur yang
dimasukkan larutan sukrosa 15%, pada 15 menit pertama volume air di dalam pipa
osmometer akan naik menjadi 2,5 cm.
Membran
selaput dalam telur yang dimasukkan larutan sukrosa 20%, pada 15 menit pertama
volume air di dalam pipa osmometer akan naik menjadi 5 cm. membran selaput
dalam telur yang dimasukan larutan sukrosa 25%, pada 15 menit pertama volume
air di dalam pipa osmometer tidak naik. Hal ini disebabkan karena pada saat
mengikat mengikat membran selaput dalam telur salah satu bagian dari selaput
telur tersebut pengikatannya kurang kuat, sehingga menyebabkan masuknya udara
serta menyebabakan volume air di dalam osmometer naiknya lama.
Membran
selaput dalam telur yang dimasukkan larutan sukrosa 30%, volume air di dalam
pipa osmometer hanya naik menjadi 1,25 cm. Hal ini disebabkan karena waktu yang
diamatinya kurang dari 15 menit. Akan tetapi sebenarnya, semakin besar
konsentrasi suatu larutan, maka semakin besar dan cepat pula vulome air yang
naik di dalam pipa osmometer.
IX.
Simpulan :
1. Volume
air di dalam pipa osmemeter yang diberikan larutan sukrosa 10% pada 15 menit
pertama volume airnya tidak bertambah.
2. Volume
air di dalam pipa osmometer yang diberikan larutan sukrosa 15% pada 15 menit
pertama volume airnya naik menjadi 2,5 cm.
3. Volume
air di dalam pipa osmometer yang diberikan larutan sukrosa 20% pada 15 menit
pertama naik menjadi 5 cm.
4. Volume
air di dalam pipa osmometer yang diberikan larutan sukrosa 25% pada 15 menit
pertama voume airnya tidak bertambah.
5. Volume
air di dalam pipa osmometer yang diberikan larutan sukrosa 30% volume air naik
menjadi 1,25 cm.
PERCOBAAN : II
I.
Judul Praktikum : Pencernaan Enzimatis (kerja
enzim saliva)
II.
Tanggal Praktikum : 25 November 2014
III.
Tujuan Praktikum : 1. Membuktikan peranan enzim pencernaan
terhadap
makanan yang di makan
2. Membuktikan peranan enzim yang terdapat pada
saliva
3. Mengetahui kerja enzim saliva di keadaan asam,
basa dan netral
IV.
Dasar Teori :
Kelenjar ludah atau glandula
saliva merupakan kelenjar penghasil air ludah atau air liur. Didalam mulut
terdapat tiga pasang kelenjar ludah yaitu glandula parotis,glandula
submandibularis dan glandula sublingualis. Glandula parotis berfungsi untuk
menghasilkan getah berbentuk cair sedangkan glandula submandibularis dan
glandula sublingualis berfungsi untuk menghasilkan getah yang mengandung air
dan lendir. Pengeluaran air liur di atur oleh rangsangan saraf misalnya melalui
aroma makanan,pada saat hidung mencium bau makanan sel-sel saraf sensori
menyampaikan implus-implus saraf ke otak selanjutnya otak akan mengirim impuls-
impuls saraf melalui saraf motor kelenjar air liur sehingga kelenjar tersebut
mensekrsi air liur.[5]
Pencernaan makanan berasal di
mulut dengan pelepasan air liur (saliva),berlanjut ke lambung dan sebagian
besar diselesaikan diusus halus. Proses pencernaan melibatkan enzim sekretorik
yang spesifik untuk berbagai makanan dan bekerja untuk menguraikan karbohidrat
menjadi gula sederhana,lemak menjadi asam lemak bebas dan monogliserida serta
protein menjadi asam amino hanya dalam bentuk sederhana seperti ini zat-zat
gizi dapat diserap menembus usus dan digunakan oleh tubuh.[6]
Amulase adalah enzim yang
berfungsi memecah tepung dan pplisakarida lainnya menjadi monosakarida,bentuk
gula yang dapat diserap tubuh (amilum menjadi disakarida). Alfa amilase adalah
salah satu enzim yang berperan dalam proses degradasi pati, sejenis makro
molrkul karbohidrat. Alpha-amilase adalah salah satu enzim saliva utama dalam
manusia dan disekresikan dari kelenjar ludah dalam menanggani terhadap
rangsangan simpatis.[7]
Hagen memiliki kelenjar saliva
yang dapat menghasilkan cairan liur yang pekat sampai 50% dalam kandungan
abdomen selain sebagai sinyal bahaya,cairan ludah mengandung senyawa kimia yang
berguna untuk antibiotik. Cairan liur (saliva) hagen adalah campuran hasil
sekresi berasal dari kelenjar submaksilaris, sublingualis, parotis dan kelenjar pipi. Kelenjar parotis sedikit
kaya lendirnya akan tetapi cairan parotis kaya akan enzim amilase yang lebih
dikenal dengan nama ptyalin .[8]
V. Alat
dan Bahan :
a.
Alat :
1.
Gelas
piala
2.
Corong
gelas
3.
Tabung
reaksi
4.
Rak
tabung reaksi
5.
Penjepit
6.
Batang
gelas
7.
Lampu
bunsen
8.
Termometer
9.
Pipet
10. Kaki tiga
11. Gelas kimia
12. Kertas gelang
b.
Bahan :
1. Kertas filter
2. Tepung beras
3. Cracher/kapas/nasi
4. Gula pasir
5. Larutan JKJ
6. Larutan Benedict
7. Amilum
8. Kanji
9. NaOH
10. HCL
VI.
Cara Kerja :
1.
Di buat larutan benedict
Na citrat kristal : 173 gram
NaCo3 : 100 gram
Kedua zat tersebut dilarutkan dalam 800 ml aquadest.
Disarng dan di tambah kan larutan Cu (So4)2 sebanyak 17,3 gram dalam 100 ml air
yang telah di saring dijadikan volume sampai 1 L.
2.
Dikunyah kapas saliva keluar sebanyak-banyaknya
kemudian dituangkan pada corong gelas.
3.
Dituangkan air panas 40 c kira-kira 2 cc dan di
saring fitratnya. Diisi kedalam tabung reaksi.
4.
Dimasukkan semua makanan yang telah di haluskan ke
dalam tabung reaksi secara terpisah.
5.
Diurutan untuk memasukkan bahan ke dalam tabung
reaksi:
a.
Tabung reaksi 1 : kanji + benedict
b.
Tabung reaksi 2 : kanji + saliva + benedict
c.
Tabung reaksi 3 : Kanji + HCL + saliva + benedict
d.
Tabung reaksi 4 : kanji + NaOH + saliva + benedict
6.
Dipanaskan air dalam gelas kimia
7.
Dimasukkan tabung reaksi ke dalam gelas kimia dan
dipanaskan selama 2 menit
8.
Diamati dan di catat perubahan warna yang terjadi.
VII. Hasil
Pengamatan :
Gambar : Nasi + Saliva
|
Keterangan
|
|
1.
Nasi + iodin
2.
Petridist
|
Gambar : Nasi + Iodin +
Saliva
|
Keterangan
|
|
1.
Nasi + iodin + saliva
2.
Petridist
|
Gambar : Kanji +
Benedict
|
Keterangan
|
|
1.
Larutan kanji + benedict
2.
Tabung reaksi
|
Gambar : Kanji + Benedict + Saliva
|
Keterangan
|
|
1.
Larutan kanji + saliva + benedict
2.
Tabung reaksi
|
Gambar : Kanji + HCl +
Saliva + Iodin
|
Keterangan
|
|
1.
Larutan kanji + HCl + saliva +
iodine
2.
Tabung reaksi
|
Gambar : Kanji + NaOH +
Saliva +
Iodin
|
Keterangan
|
|
1.
Larutan kanj + NaOH = saliva +
iodine
2.
Tabung raksi
|
Gambar : Kanji + Saliva
+ Iodin
|
Keterangan
|
|
1.
Larutan kanji + saliva + iodine
2.
Tabung reaksi
|
VIII. Pembahasan :
Berdasarkan hasil pengamatan yang
telah dilakukan air liur atau saliva berperan dalam membantu pencernaan
karbohidrat atau tepung sdah mulai dipecah sebagian kecil dalam mulut oleh
enzim ptyalin. Enzim dalam air liur memecahkan amilum menjadi disakarida
maltosa dan polimer glukosa kecil lainnya. Air liur (saliva) disekresikan oleh
tiga pasang kelenjar besar yaitu parotis,submaksilaris dan sublingualis. Air
liur parotis merupakan caira hipotonis yang sangat encer dengan konsentrasi zat
padat yang rendah,pada pada tabung yang berisikan amilum dan iodin kemudian
tabung yang satunya lagi berisikan amilum + saliva + iodin kemudian diperoleh
pada tabung yang ke dua yang di tetesi dengan saliva warnanya berubah menjadi
ungu pudar sedangkan pada tabung yang pertama warnanya ungu pekat,disini di
temukan bahwa emzim amilase bekerja yaitu dapat menguraikan amilum.
Tabung yang berisikan larutan
saliva + amilum + iodin warnanya hijau lumut yang menandakan bahwa enzim tidak
dapat menghidrolisis amilum dengan optimum karena NaOH termasuk yang memiliki konsentrasi
basa sedangkan pada tabung yang berisikan larutan amilum +saliva +HCL +iodin di
temukan warna putih bening dan endapan di dasar tabung yang berwarna orange
menandakan bahwa enzim bekerja secara sempurna menguraikan amilum dalam saliva
karena HCL memiliki konsentrasi yang asam dan dapat mempercepat kerja enzim.
Nasi yang sudah di haluskan di
taruh kedalam 2 cawan petri kemudian pada petridish pertama di tetesi larutan
iodin kemudian pada petridish kedua ditetesi saliva dan juga larutan iodin,diperoleh
warna pada petridish pertama yaitu ungu pekat sedangkan pada petridish kedua
diperoleh warna ungu pudar. Hal ini menandakan bahwa enzim amilase bekerja
secara sempurna. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi fungsi enzim antara lain
adalah suhu, PH, konsentrasi substrat, konsentrasi enzim dan zat-zat
penghambat.
IX.
Simpulan :
1. Air liur
atau saliva sangat berperan dalam membantu pencernaan makanan.
2. Saliva di
sekresikan oleh tiga pasang kelenjar yaitu kelenjar parotis, sublingualis dan
submaksilaris.
3. HCL memiliki
konsentrasi yang asam sehingga dapat mempercepat kerja enzim.
4. Enzim
tidak dapat menghidrolisis amilum dengan maksimal karena larutan NaOH memiliki
konsentrasi yang bersifat basa.
5. Faktor-faktor
yang mempengaruhi fungsi enzim diantaranya suhu, PH, konsentrasi substrat,
konsentrasi enzim dan Zat-zat penghambat.
PERCOBAAN
: III
I.
Judul
Praktikum : Sensoris
(Indra pengecap)
II.
Tanggal
Praktikum : 02
Desember 2014
III.
Tujuan
Praktikum : Menunjukkan
tempat pengecapan manis, pahit, asam
dan asin.
IV.
Dasar Teori :
Lidah memiliki peran
pengatur letak makan di dalam mulut serta mengecap rasa makanan. Pengecapan
dirasakan oleh organ perasa yang terdapat di permukaan lidah. Penciuman
dirasakan oleh saraf alfaktorius di hidung. Pengecapan relatif sederhana, terdiri
dari manis, asam, asin dan pahit. [9]
Rasa
makanan ditentukan oleh rasa pengecap, yaitu reseptor indera rasa pengecap pada
rongga mulut terutama pada lidah. Rasa makanan juga ditentukan oleh persepsi
individu terhadap makanan tersebut. Pemenuhan kebutuhan nutrisi tubuh
tergantung oleh nafsu makan yang dipengaruhi sistem saraf pusat dan sistem
saraf perifer. Pada sistem saraf pusat dipengaruhi beberapa hal antara lain
memori tehadap makanan, sedangkan sistem saraf perifer ditentukan oleh reseptor
indra rasa pengecap. [10]
Sel reseptor pengecap
adalah sel epitel termodifikasi dengan banyak lipatan permukaan atau mikrovili,
sedikit menonjol melalui pori-pori pengecap untuk meningkatkan luas permukaan
sel yang terpajan dalam mulut. Membran plasma mikrovili mengandung reseptor
yang berkaitan secara selektif dengan molekul zat kimia. Hanya zat kimia dalam
larutan atau zat padat yang telah larut dalam air liur yang dapat berikatan
dengan sel reseptor. [11]
Empat macam rasa kecapan: manis, pahit,
asam dan asin. Kebanyakan makanan memiliki cirri harum dan cirri rasa, tetapi
ciri-ciri itu merangsang ujung saraf penciuman, dan bukan ujung saraf
pengecapan. Supaya dapat dirasakan semua makanan harus menjadi cairan, serta
harus sungguh-sungguh bersentuhan dengan ujung saraf yang mampu menerima
rangsangan yang berbeda-beda. Puting pengecap yang berbeda-beda menimbulkan
kesan rasa yang berbeda-beda juga. [12]
V. Alat dan Bahan :
a. Alat :
1. Petridist
2. Cutton
buds
b. Bahan :
1.
Buah jeruk nipis
2.
Larutan gula
3.
Larutan garam
4.
Pil kina
5.
Aquadest
VI. Cara Kerja :
1. Dimasukkan ekstrak dari masing-masing bahan
percobaan ke dalam cawan petri steril.
2. Dikumur mulut beberapa kali dengan aqua
3. Dengan menggunakan cutton buds, dioleskan
masing-masing bahan tersebut pada lidah dibagian pengecap masing-masing rasa.
4. Diulangi beberapa kali cara diatas untuk menetukan
posisi masing-masing pengecap tersebut.
5. Dicatat hasil percobaan dari semua anggota kelompok
anda pada tabel pengamatan.
6. Diambil kesimpulan dari hasil perlakuan anda.
VII.
Hasil Pengamatan
:
Gambar : Lidah
|
Keterangan
|
|
1.
Panggkal
2.
Tepi atas
3.
Tepi bawah
4.
Ujung
5.
Papilla
|
Tabel 3.1 Hasil
Pengamatan Indera Sensori
No
|
Nama
|
Jenis Rasa/Lokasi
|
||||||||||||||||
Pahit
|
Manis
|
Asam
|
Asin
|
|||||||||||||||
U
|
P
|
TA
|
TB
|
U
|
P
|
TA
|
TB
|
U
|
P
|
TA
|
TB
|
U
|
P
|
TA
|
TB
|
|||
1
|
Indri
|
A
|
C
|
B
|
B
|
A
|
A
|
A
|
A
|
C
|
B
|
C
|
C
|
A
|
B
|
C
|
B
|
|
2
|
Dessri
|
B
|
C
|
A
|
A
|
B
|
B
|
A
|
A
|
B
|
A
|
B
|
A
|
A
|
A
|
A
|
B
|
|
3
|
Sri Ayu
|
A
|
C
|
A
|
A
|
C
|
C
|
A
|
B
|
C
|
C
|
A
|
A
|
C
|
A
|
B
|
A
|
|
4
|
Devi
|
A
|
C
|
A
|
B
|
C
|
A
|
A
|
A
|
C
|
B
|
A
|
A
|
C
|
A
|
A
|
B
|
|
5
|
Lisna
|
C
|
A
|
B
|
B
|
C
|
A
|
A
|
C
|
B
|
C
|
B
|
A
|
A
|
A
|
C
|
B
|
|
Keterangan:
1. U : Ujung
2. P
: Pangkal
3. TA : Tepi Atas
4. C : Sangat Terasa
5. A
: Terasa
6. B : Sedang
7. TB : Tepi Bawah
VIII. Pembahasan :
Berdasarkan hasil pengamatan dapat diketahui bahwa
lidah merupakan bagian penting untuk indra pengecap yang terdapat kemoreseptor
(bagian yang berfungsi untuk menangkap rangsangan kimia yang larut pada air)
untuk merasakan respon rasa asin, asam, manis dan pahit. Lidah adalah organ
otot lurik yang dilapisi oleh sel epitel skuamosa berlapis yang berfungsi
sebagai alat pengecap dan membantu proses pencernaan (membolak-balikkan
makanan). Tiap rasa pada zat yang masuk kedalam rongga mulut akan direspon oleh
lidah ditempat yang berbeda-beda. Penyebab makanan terasa enak karena adanya
penciuman, jadi indra pengecap berhubungan erat dengan indra penciuman.
Rasa asam, asin, pahit dan manis akan sangat terasa
pada daerah-daerah tertentu. Secara teori rasa pahit terdapat di pangkal lidah,
rasa asam terdapat di tepi atas lidah, rasa asin terdapat di tepi bawah lidah
dan rasa manis terdapat di ujung lidah. Hasil pengamatan yang diuji pada
berbagai bahan seperti pil kina(pahit), garam(asin), jeruk nipis(asam) dan
larutan gula(manis). Rasa pahit dan manis diperoleh hasil sesuai dengan teori
yaitu pahit terdapat di pangkal dan manis di ujung lidah, sedangkan asam dan
asin tidak sesuai teori, dimana asam terdapat di ujung dan asin terdapat di
tepi atas lidah.
VIII. Simpulan :
1. Lidah berfungsi untuk merasakan respon rasa asin,
asam, manis dan pahit.
2. Rasa asin terdapat pada lidah bagian tepi bawah.
3. Rasa asam terdapat pada lidah bagian tepi atas.
4. Rasa manis terdapat pada lidah bagian ujung.
5. Rasa pahit terdapat pada lidah bagian pangkal.
PERCOBAAN
: IV
I.
Judul Praktikum :
Kecepatan Respirasi pada Ikan
II.
Tanggal Praktikum :
9 Desember 2014
III.
Tujuan Praktikum : Untuk melihat kecepatan repirasi hewan pada
perbedaan suhu, bobot tubuh dan luas permukan tubuh.
IV.
Dasar Teori :
Pernafasan adalah proses pengikatan oksigen dan
pengeluaran karbon dioksida oleh darah melalui alat pernafasan. Kebutuhan
oksigen ikan sangat dipengaruhi oleh umur, aktivitas, serta kondisi perairan.
Semakin tua suatu organisme, laju metabolismenya juga akan semakin rendah.
Selain itu, umur dan ukuran dari suatu ikan juga akan mempengaruhi kecepatan
laju respirasi. Semakin besar ukuran
suatu ikan, maka jumlah konsumsi oksigen per mg berat badan semakin rendah.
Selain perbedaan ukuran, perbedaan aktivitas juga dapat menyebabkan perbedaan
kebutuhan oksigen.[13]
Oksigen sangat diperlukan untuk respirasi (pernafasan)
dan proses metabolism ikan serta organisme perairan lainnya. Kebutuhan oksigen
untuk kehidupan ikan sangat bervariasi, tergantung pada jenis, stadium dan juga
aktivitas dari ikan tersebut. Jenis-jenis ikan yang dapat mengambil oksigen
dari udara (breathing fishes) dapat bertahan hidup pada keadaan oksigen
terlarut di perairan rendah. Secara alami oksigen yang masuk ke dalam perairan
melalui difusi langsung dari udara, hujan yang jatuh, proses fotosintesis
tumbuhan-tumbuhan hijau dan melalui aliran-aliran air yang masuk. Kadar oksigen
yang terlarut di dalam perairan ditentukan oleh temperatur perairan tersebut,
kadar garam dan tekanan parsial gas yang terlarut di dalam air. Turunnya kadar
oksigen di suatu perairan akan menghambat terjadinya proses respirasi pada ikan
dan juga dapat menyebabkan kematian pada ikan secara masal.[14]
Stres pada ikan akan menyebabkan repirasi dan metabolisme
meningkat. Peningkatan metabolism akan menyebabkan hipoksia pada ikan. Hipoksia
merupakan suatu kondisi dimana terjadinya kekurangan oksigen pada jaringan
tubuh. Hipoksia dapat menyebabkan hormone katekolamin merangsang peningkatan
membuka dan menutupnya operculum serta meningkatnya gerakan peristalitik usus
pada ikan.[15]
Pastida dapat menyebabkan kerusakan pada bagian insang
dan organ-organ yang berhubungan dengan insang, sehingga menyebabkan terjadinya
gangguan pada saluran pernafasan. Masuknya pastida ke dalam insang pada ikan
melalui kontak langsung, karena terletak di bagian luar. Kerusakan insang dapat
berupa penebalan lamella, degredasi sel atau bahkan kerusakan dan kematian pada
jaringan insang. Hal ini akan menyebabkan fungsi insang menjadi tidak wajar dan
mengganggu prose respirasi, akibatnya akan mengganggu proses pernafasan, dan
pada akhirnya akan menyebabkan kematian.[16]
V.
Alat
dan Bahan :
a.
Alat :
1.
Water bath
2. Thermometer
3. Tally
counter
4. Gelas
beker berskala
5. Timbangan
b.
Bahan :
1. Aquadest
2. Ikan
yang berukuran kecil, sedang dan besar
3. Es
VI.
Cara
Kerja :
1. Diisi
aquadest ke dalam water bath, lalu diukur suhunya.
2. Dimasukkan
ikan ke dalam water bath.
3. Dihitung
gerakan insang per-menit dan dilakukan perhitungan sampai 5 menitm kemudian
dicatat frekuensi tersebut.
4. Dinaikkan
suhu water bath sampai lebih tinggi dari suhu biasa atau suhu kamar, misalnya 50C.
Dihitung kecetapan respirasi pada ikan tersebut.
5. Dicatat
jumlah frekuensi respirasi ikan disetiap variasi suhu di tabel yang sudah
disiapkan.
6. Ditimbang
berat tubuh dari masing-masing jenis ikan.
7. Ditentukan
luas permukaan tubuh daru masing-masing jenis ikan.
8. Diulang
percobaan dengan jenis ikan yang lain.
VII. Hasil Pengamatan :
Gamabr : Ikan Berukuran
Kecil
|
Keterangan
|
|
1. Gelas
beker
2. Ikan
3. Air
|
Gambar : Ikan Berukuran
Sedang
|
Keterangan
|
|
1. Gelas
beker
2. Ikan
3. Air
|
Gambar : Ikan Berukuran
Besar
|
Keterangan
|
|
1. Gelas
beker
2. Ikan
3. Air
|
Tabel
4.1 Pengamatan Laju Kecepatan Respirasi pada Ikan
No.
|
Perlakuan
|
Perlakuan
|
|||||||||||||||||
Jenis 1 (ikan berukuran kecil)
|
Jenis 2 (ikan berukuran sedang)
|
Jenis 3 (ikan berukuran besar)
|
|||||||||||||||||
I
|
II
|
III
|
IV
|
V
|
Rata-rata
|
I
|
II
|
III
|
IV
|
V
|
Rata-rata
|
I
|
II
|
III
|
IV
|
V
|
Rata-rata
|
||
1.
|
Suhu biasa (270C)
|
75
|
70
|
60
|
49
|
47
|
60,2
|
61
|
67
|
51
|
75
|
69
|
64,6
|
73
|
68
|
70
|
84
|
79
|
74,8
|
2.
|
Suhu rendah (220C)
|
138
|
109
|
123
|
114
|
121
|
121,1
|
66
|
62
|
89
|
76
|
86
|
75,8
|
69
|
84
|
84
|
75
|
87
|
79,8
|
3.
|
Suhu tinggi (320C)
|
160
|
184
|
194
|
186
|
190
|
174,8
|
81
|
100
|
104
|
100
|
96
|
96,2
|
120
|
104
|
103
|
111
|
100
|
107,6
|
Luas Permukaan Tubuh
|
18 cm
|
8 cm
|
7 cm
|
VIII.
Pembahasan :
Berdasarkan dari hasil pengamatan,
dapat diketahui bahwa respirasi merupakan rangkaian proses metabolisme yang
melibatkan konsumsi O2 yang dibutuhkan dan diproduksi CO2
lewat permukaan tubuh. Selain itu, respirasi juga sering disebut dengan proses
pertukaran gas O2 dan CO2 di dalam organ pernafasan
makhluk hidup. Adapun faktor-faktor yang dapat menpengaruhi kecepatan respirasi
pada ikan ada dua, yitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal
terdiri dari ukuran dari ikan itu sendiri, luas permuakaan tubuh, serta kondisi
dari ikan tersebut. Sedangkan factor eksternal terdiri dari suh, kadar oksigen
dalam air, dan tegangan dari luar.
Berdasarkan dari hasil pengamatan
yang dilakukan pada ikan mas koki (Carracius
auratus) dengan menggunakan ukuran-ukuran yang berbeda-beda, yaitu ukurang
kecil, ukuran sedang serta ukuran yang besar. Adapun hasil yang diperoleh dari
percobaan kecepatan respirasi ikan dengan menggunakan ketiga jenis ikan
tersebut yaitu ternyata ikan yang berukuran besar memiliki laju kecepatan
respirasi yang cepat. Hal ini mungkin disebabkan karena terjadi kesalahan
disaat melakukan perhitungan kecepatan respirasi. Selain itu, juga dapat
disebabkan oleh kondisi ikan yang terlalu stress, adanya tegangan dari luar,
serta kurangnya kandungan oksigen di dalam air tersebut.
Laju kecepatan respirasi yang
diamati pada ketiga ikan yang memiliki ukuran yang bebeda, seharusnya
menghasikan bahwa ikan yang lebih kecil lebih cepat kecepatan laju respirasinya
jika dibandingkan dengan ikan yang ukurangnya libeh besar. Hal ini disebabkan
karena ikan yang berukuran kecil memiliki tekanan pemberat badan lebih tinggi.
Untuk mempertahankan badan (tubuhnya) supaya tetap berada (mengapung) di air
adalah dengan cara banyak melakukan respirasi. Pada saat melakukan respirasi,
mlut ikan akan tertuptup sedangkan operculum akan membukan. Oksigen pada proses
respirasi pada ikan akan masuk secara difusi. Sedangkan pengiatan oksigen (O2)
pada ikan terjadi di dalam insang, tepatnya pada bagian lamella-lamella insang
ikan.
Berdasarkan suhu biasa (270C)
diperoleh hasil bahwa ikan yang paling cepat melakukan respirasi adalah ikan
yang berukuran besar, yaitu 74,8 kali. Sedangkan ikan yang sedang yaitu 64,6
dan ikan yang kecil yaitu 60,2. Pada suhu rendah (220C) diperoleh
hasil bahwa ikan yang paling cepat melakukan respirasi adalah ikan yang
berukurang kecil yaitu 121 kali. Sedangkan ikan yang berukuran sedang yaitu
75,8 kali dan ikan yang berukuran besar yaitu 79,8 kali. Pada suhu tinggi (320C)
diperoleh hasil bahwa ikan yang paling cepat melakukan respirasi adalah ikan
yang berukuran kecil yaitu 174,8 kali. Sedangkan ikan yang berukuran sedang
yaitu 96,2 kali dan ikan yang berukurang besar yaitu 107,6 kali.
Laju kecepatan respirasi pada suhu
rendah (220C) seharusnya kecepatan respirasinya juga lebih rendah.
Hal ini disebabkan karena pada suhu rendah (220C) memiliki kadar
oksigen yang lebih tinggi dan oksigen lebih cepat didapatkan. Sedangkan laju
kecepatan respirasi pada suhu tinggi (320C) seharusnya kecepatan
respirasinya lebih tinggi. Hal ini disebabkan karena ada suhu tinggi (320C)
meiliki kadar oksegen yang lebih rendah, sehingga melakukan aktivitas yang
lebih sedikit karena susah untuk mendapatkan energi.
IX.
Simpulan :
1. Faktor
yang mempengaruhi kecepatan respirasi pada ikan terdiri dari faktor internal
dan faktor eksternal.
2. Laju
kecepatan respirasi pada ikan mas koki yang berukuran besar lebih cepat
daripada ikan mas koki yang berukuran sedang ataupun kecil.
3. Laju
kecepatan respirasi ikan yang berukuran besar lebih cepat pada suhu biasa (270C),
yaitu 74,8 kali.
4. Laju
kecepatan respirasi ikan yang berukuran kecil lebih cepat pada suhu rendah (220C),
yaitu 121 kali.
5. Laju
kecepatan respirasi ikan yang berukuran kecil juga lebih cepat pada suhu tinggi
(320C), yaitu 174, 8 kali.
PERCOBAAN : V
I.
Judul Praktikum : Tolerasi
Hewan Terhadap Salinitas
II.
Tanggal Praktikum : 16
Desember 2014
III.
Tujuan Praktikum : 1. Untuk mengetahui rentang toleransi hewan
air
tawar berupa
ikan (vertebrata) dan planaria/lintah (invertebrate) terhadap salinitas air.
2.
Untuk
mengidentifikasi gejala-gejala fisiologi
dan perilaku hewan
yang berhubungan dengan efek perubahan salinitas.
IV. Dasar
Teori :
Osmoregulasi adalah upaya hewan air
untuk mengontrol keseimbangan air dan ion antara tubuh dan lingkungannya, atau
suatu proses pengaturan tekanan osmose. Hal ini penting dilakukan, terutama
oleh organism perairan, karena: harus terjadi keseimbangan antara substansi
tubuh dan lingkunga; Membran sel yang permeable merupakan tempat lewatnya
beberapa substansi yang bergerak cepat; Serta karena adanya perbedaan tekanan
osmose antara cairan tubuh dan lingkungan.[17]
Hewan akuatik yang hidup di perairan
air tawar tekanan osmotik tubuhnya lebih rendah dari lingkungannya dan
cenderung masuk ke dalam tubuhnya dengan demikian mereka harus mengeluarkan
banyak cairan dari tubuhnya. Sebaliknya hewan akuatik yang hidup di air laut
tekanan osmotik tubuhnya lebih tinggi dari lingkungannya, sehingga mereka
beresiko kehilangan air terus menerus terutama pada ikan melalui membrane
insang dan urin. Maka ikan air laut harus banyak minum air tetapi bersamaan
dengan itu mereka meminum garam yang harus dikeluarkan secara aktif dari
tubuhnya. [18]
Invertebrata laut pada umunya
isotonik terhadap lingkungan mereka dan merupakan osmokonformer. Mereka tidak
memiliki mekanisme yang khusus untuk memindahkan air, tetapi mereka mengatur
kandungan garamnya sehingga berbeda dengan kandungan air laut. Mereka memiliki
pompa seluler dan beberapa impermeabel terhadap garam. Spesies yang diam di
tepi pantai serta estuari mengatur keseimbangan air. Beberapa menyerap air
lebih ketika air laut mengencer, bahkan ada yang menambah ukuran selnya untuk
mempertahankan keadaan isotonik.[19]
Perubahan kadar salinitas
mempengaruhi tekanan osmotik cairan tubuh ikan, sehingga ikan akan melakukan
penyesuaian atau pengaturan kerja osmotik internalnya agar proses fisiologis di
dalam tubuhnya dapat bekerja secara normal kembali. Apabila salinitas semakin
tinggi ikan berupaya terus agar kondisi homeostasis dalam tubuhnya tercapai
hingga pada batas toleransi yang dimilikinya. Kerja osmotik memerlukan energi
yang lebih tinggi pula.[20]
V. Alat dan Bahan :
a.
Alat :
1. Gelas beker 200 ml
2. Tabung ukur
3. Pipet tetes
4. Pinset
5. Stopwatch
6. Kertas label
b.
Bahan :
1.
Aquadest
2.
Larutan Nacl
(konsentrasi 1%, 3%, 5%, 7% dan 9%)
3.
Ikan kepala
timah
4.
Planaria
/lintah
VI. Cara Kerja :
1.
Disediakan hewan
percobaan (ikan dan lintah) masing-masing 24 ekor.
2.
Disediakan 6
gelas beker dengan volume dan bentuk yang sama lalu diisi dengan medium dan
diberi kode pada kelas beker sesuai dengan perlakuan.
3.
Dimasukkan 4
ekor hewan percobaan ke dalam gelas beker yang berbeda sesuai urutan perlakuan
lalu dibiarkan selama 10 menit.
4.
Dilakukan
observasi dan pencatatan sebagai berikut:
a.
Parameter yang
diamati pada ikan
·
Pergerakan:
skor 1 jika kurang aktif, 2 jika normal dan 3 jika sangat aktif
·
Frekuensi
pergerakan operculum per menit (diamati satu ekor juga untuk masing-masing
perlakuan)
·
Persentase
jumlah individu yang hidup setelah 2 jam perlakuan
·
Gejala-gejala
pengeluaran secret setelah akhir percobaan (ada lender atau tidak) dan gejala
pendarahan atau bleeding pada permukaan tubuh, sirip, insang dan mata.
·
Tingkat
kekeruhan air setelah akhir percobaan (jernih skor 0, agak keruh skor 1, keruh
skor 2, sangat keruh 3)
b.
Parameter yang
diamati pada planaria/lintah
·
Pergerakan:
skor 1 jika kurang aktif, 2 jika normal dan jika sangat aktif
·
Persentase
individu yang hidup selama 2 jam perlakuan
·
Gejala-gejala
pengeluaran secret setelah akhir percobaan
IX.
Hasil Pengamatan :
Gambar : Lintah (Hirudo meicinalis)
|
Keterangan
|
|
1.
Gelas beker
2.
Lintah
3.
Air
|
Gambar : Ikan pantau (Poecilia
reticulate)
|
Keterangan
|
|
1.
Gelas beker
2.
Ikan pantau
3.
Air
|
Tabel
5.1 Parameter Pada Ikan
No
|
Parameter
Kuantitatif/ Semikuantitatif
|
Perlakuan
|
|||||
Aquadest
|
1%
|
3%
|
5%
|
7%
|
9%
|
||
1
|
Pergerakan
|
1
|
2
|
2
|
1
|
1
|
1
|
2
|
Persentase gerak operkulum/menit
|
179
|
87
|
87
|
51
|
-
|
-
|
3
|
Persentase survival individu (%)
|
100%
|
100%
|
25%
|
0%
|
0%
|
0%
|
4
|
Tingkat kekeruhan
|
-
|
0
|
2
|
2
|
2
|
2
|
Tabel
5.2 Parameter Pada Ikan
No
|
Parameter
Kuantitatif
|
Perlakuan
|
|||||
Aquadest
|
1%
|
3%
|
5%
|
7%
|
9%
|
||
1
|
Pengeluaran secret/lender
|
-
|
+
|
+
|
+
|
+
|
+
|
2
|
Pendarahan di insang
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
3
|
Pendarahan di sirip
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
4
|
Pendarahan di mata
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
5
|
Pendarahan di tubuh
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
Tabel
5.3 Parameter Pada Lintah
No
|
Parameter
Kuantitatif/ Semikuantitatif
|
Perlakuan
|
||||
1%
|
3%
|
5%
|
7%
|
9%
|
||
1
|
Pergerakan
|
1
|
2
|
3
|
3
|
3
|
2
|
Persentase survival individu (%)
|
100%
|
0%
|
0%
|
0%
|
0%
|
3
|
Tingkat kekeruhan
|
1
|
1
|
2
|
2
|
3
|
4
|
Sekresi secret/lendir
|
+
|
+
|
+
|
+
|
+
|
VIII.
Pembahasan :
Berdasarkan haasil pengamatan dapat diketahui bahwa
setiap hewan air melakukan proses osmoregulasi untuk mencapai keseimbangan
antara kadar ion/larutan dalam tubuh dengan lingkungan disekitarnya, guna untuk
dapat mempertahankan kehidupan. Setiap hewan air mempunyai cara yang
berbeda-beda dalam mencapai keseimbangan (homeostasis). Setiap proses
osmoregulasi sangat dipengaruhi oleh lingkungan tempat hewan tersebut hidup.
Ikan kepala timah
(Aplochaeilus panchax) dan lintah (Hirudina medicinalis) merupakah hewan yang
hidup di air payau dengan kadar salinitas yang rendah, sehingga ketika diberi
perlakuan dengan kadar salinitas lebih tinggi maka akan terlihat reaksi yang
berbeda dari bentuk normalnya. Pada ikan, perbedaan tersebut terlihat pada
pergerakan, gerak operculum, tingkat kehidupan dan secret, begitu juga pada
lintah cuma tidak ada gerak operculum padanya. Pada percobaan akan dibentuk
tingkat salinitas yang berbeda-beda, yaitu 1%, 3%, 5%, 7% dan 9%.
Proses perbedaan pada
ikan dimulai dari pergerakan, pada konsentrasi tinggi pergerakan ikan semakin
lambat, ini dipengaruhi oleh kadar salinitas yang tinggi. Pada pergerakan
operculum semakin tinggi konsentrasi salinitas makan semakin rendah pergerakan
operculum ikan dikarenakan ikan tidak bias melakukan terlalu banyak pernafasan,
guna untuk mempertahankan kadar garam pada tubuh ikan tersebut. Pada sulvival
individu (%) semakin tunggi kadar salinitas maka semakin banyak dan semakin
cepat ikan mati, ini dikarenakan ikan tidak sanggup beradaptasi dengan lingkungannya.
Pada rentang waktu 2 jam, ikan pada konsentrasi 5 %, 7% dan 9% semuanya mati,
yang tersisa pad konsentrasi 1% (100% atau hidup semua) dan 3% (25% atau satu
hidup).
Perbedaan
antara normal dengan yang telah diberi perlakuan pada lintah dimulai dari pergerakan,
pada konsentrasi 1% lintah bergerak normal, 3% bergerak sangat aktif sedangkan
pada konsentrasi 5%, 7% dan 9% kecepatan bergerak begitu cepat menurun, ini
disebabkan daya tahan tubuh yang tidak sanggup beradaptasi dengan kadar
salinitas tinggi bahkan dalam rentang waktu 10 menit, ketiga lintah tersebut
mati semua. Pengeluaran secret atau lendir pada lintah, semakin tinggi
konsentrasi semakin banyak secret yang dikeluarkan, dikarenakan lintah
mempertahankan hidupnya dengan mengeluarkan lendir dari lapisan kulitnya.
Semakin banyak lendir yang dikeluarkan, semakin tinggi tingkat kekeruhan air
tersebut. Dalam rentang waktu 2 jam, hanya lintah yang pada konsentrasi 1% saja
yang hidup yaitu 100% (hidup kedua-duanya).
X.
Simpulan :
1.
Kadar salinitas
sangat mempengaruhi fisiologi dan morfologi pada ikan dan lintah
2.
Tujuan dilakukan
proses osmoregulasi pada perairan untuk mencapai keseimbangan (homeostasis)
3.
Semakin tinggi
konsentrasi atau kadar salinitas, semakin rendah atau lambat respirasi pada
ikan
4.
Semakin tinggi
kadar salinitas maka semakin cepat pula mati hewan perairan
5.
Setiap hewan
perairan mempunyai rentang waktu bertahan yang berbeda-beda terhadap kadar
salinitas yang berbeda-beda pula.
PERCOBAAN :VI
I.
Judul
Praktikum : Sel
Darah Merah pada Berbagai Konsentrasi Garam
II. Tanggal Praktikum : 23 Desember 2014
III. Tujuan Praktikum : Untuk
mengetahui berbagai bentuk sel darah merah
pada perbedaan
konsentrasi larutan
IV. Dasar Teori :
Darah
adalah suatu jaringan bersifat cair. Sel-sel darah merah yang paling banyak
jumlahnya. Wanita normal mempunyai kira-kira 4,5 juta sel-sel ini dalam setiap
milimeter kubik darah. Pada laki-laki normal, rata-rata jumlahnya agak tinggi
kira-kira 5 juta. Meskipun demikian nilai-nilai ini dapat turun naik dalam
suatu kisaran yang luas sekali, tergantung pada faktor-faktor seperti
ketinggian tempat seseorang hidup.[21]
Darah
merupakan unsur berupa cairan dalam tubuh manusia, yang berperan penting dalam
mekanisme kerja tubuh yang berfungsi sebagai medium atau transportasi massal
jarak jauh berbagai bahan antara sel dan lingkungan eksternal atau antara
sel-sel itu sendiri, dimana transportasi semacam itu penting untuk memelihara
homeostatis. Volume darah secara keseluruhan kira-kira merupakan satu perdua
cairan, sedangkan 45 persen sisanya terdiri atas sel darah.[22]
Sel darah merah memiliki bentuk umum menyerupai
cakram dengan tengah yang cekung. Efek pencahayaannya menimbulkan beberapa sel
darah merah terlihat terang pada bagian tengahnya seperti donat. Pada beberapa
sel, bagian tengahnya yang terang terlihat sangat luas dan melingkupi sebagian
besar sel, bahkan terlihat pecah. Hal ini dapat menimbulkan kesulitan dalam
pengolahan.[23]
Eritrosit (sel darah merah) didalamnya terdapat
hemoglobin yang berfungsi mengikat O2, membawa O2 dari paru-paru ke jaringan,
dan membawa CO2 dari jaringan ke paru-paru untuk di keluarkan melalui jalan
pernapasan. Jumlah hemoglobin secara normal dalam masing-masing sel adalah
mengadung rata-rata 15 gram dan tiap gram mampu mengikat 1,39 ml O2. Pada orang
normal hemoglobin dapat mengangkut 20 ml O2 dalam 100 ml darah.[24]
V.
Alat
dan Bahan :
a. Alat :
1. Tabung
reaksi
2. Pipet
tetes
3. Mikroskop
4. Gelas
beker
b. Bahan :
1. Anti
koagulan
2. NaCL
0,3 %, 0,4 %, 0,7%, 0,8%, 0,9%, 1,3% dan 2%.
3. Darah
ternak ( manusia, sapi, kambing dan ayam)
VI.
Cara
Kerja :
1. Dimasukkan
kedalam enam buah tabung reaksi masing-masing berisi NaCL 0,3%,
0,4%,0,7%,0,8%,0,9%,1,3%, dan 2%.
2. Diteteskan
darah dalam tiap-tiap tabung reaksi sebanyak 1,5 cc.
3. Setelah
30 menit diambillah setetes darah dari tiap-tiap tabung kemudian diteteskan
pada objek gelas.
4. Diamati
dibawah mikroskop dengan pembesaran lemah sampai pembesaran kuat.
5. Digambarkan
bentuk sel darah merah serta dibandingkan bentuk sel darah merah pada berbagai
konsentrasi.
6. Disimpulkan
peristiwa yang terjadi pada sel darah merah.
VII.
Hasil
Pengamatan :
Gambar : Bentuk Sel
Darah Normal
Pembesaran : 10 x 10
|
Keterangan
|
|
1.
Plasma darah
2.
Sel darah merah
|
Gambar : Bentuk Sel
Darah Hemolisis
Pembesaran : 10 x 10
|
Keterangan
|
|
1.
Plasma darah
2.
Sel darah merah
|
Gambar : Bentuk Sel
darah Krenasi
Pembesaran : 10 x 10
|
Keterangan
|
|
1.
Plasma darah
2.
Sel darah merah
|
Tabel
6.1 Hasil Pengamatan Sel Darah Merah
Jenis Darah
|
0,3%
|
0,4%
|
0,7%
|
0,8%
|
0,9%
|
1,3%
|
2%
|
Manusia
|
–
|
–
|
–
|
–
|
–
|
–
|
K
|
Ayam
|
H
|
–
|
H
|
–
|
–
|
–
|
–
|
Kambing
|
–
|
H
|
–
|
–
|
–
|
–
|
–
|
Sapi
|
–
|
H
|
–
|
–
|
N
|
–
|
–
|
Keterangan:
1. H = Hemolisis
2. K = Krenasi
3. N = Normal
Gambar : Darah
Hewan
Keterangan:
1. Rak
tabung reaksi
2. Tabung
reaksi
3. Darah
+ larutan NaCl
VIII. Pembahasan :
Berdasarkan
hasil pengamatan dapat di ketahui bahwa darah merupakan cairan yang bersikulasi
dalam tubuh manusia dan vertebrata yang berfungsi untuk mengirimkan zat-zat dan
oksigen yang di butuhkan oleh jarigan tubuh,serta mengangkut bahan bahan kimia
hasil metabolisme.Darah terdiri atas 2 komponen yaitu plasma darah dan sel-sel
darah.sel darah merah (eritrosit)umumnya berwarna merah karena memiliki
hemoglobin( HB),sebagai zat konkof.namun bentuk sel darah merah dapat berubah
ketika adanya perlakuan pada darah.
Sel darah
merah yang mengalami gangguan dapat mengalami perubahan bentuk yaitu bisa
hemolosis maupun krenasi.Hemolisis adalah keadaan dimana membran sel darah
merah mengalami kerusakan yang di karenakan tekanan osmotik di luar sel lebih
rendah (Hepotonik),sehinga menyebabkan larutan di luar masuk kedalam
sel,akibatnya dari peristiwa ini lama kelamaan sel akan mengalami lisis
(pecah).krenasi adalah dimana keadaan sel menjadi mengkerut karena takana di
luar sel lebih tinggi (hipertonik) di bandingkan tekanan osmotik di dalam
sel,Hal ini akan menyebabkan cairan di dalam sel keluar maka terjadilah krenasi
(mengkerut).
Hasil
pengamatan pada perlakuan sel darah merah yang ditambahkan dengan larutan Nacl
yang berkonsentrasi 0,3%, 0,4%, 0,7%, 0,8%, 0,9%, 1,3%, dan 2% di peroleh
perubahan bentuk sel darah merah.ketika sel darah sapi yang di tambah Nacl 0,9%
di peroleh hasil bentuk sel darah merah tetap dengan bentuk nomal (bikonkaf).
Hal ini dikarenakan laruta Nacl 0,9% bersifat isotonik yaitu dimana tekanan
osmatik di luar sel sama dengan takanan osmotik di dalam sel sehingga tidak
terjadi perubahan bentuk.
Hasil
pengamatan pada sel darah merah ayam yang di tambahkan Nacl berkonsentrasi 0,3%
dan 0,7%, sel darah merah kambing dan sapi dengan Nacl 0,4% di peroleh bentuk
sel darah merah yaitu hemlisis.Dimana bentuk sel darah merah menjadi
mengembang,Hal ini di karenakan larutan di luar sel bersifat hipotonik sehingga
larutan di luar masuk kedalam sel.Pada darah anusia yang di tammbahkan larutan
Nacl 2% dipeoleh bentuk sel darah merah yaitu krenasi (mengkerut). Hal ini di
karenakan tekana osmotik di luar seL bersifat hipertonik (lebih tinggi) di
bandingkan di dalam sel,sehingga menyababkan cairan didalam sel darah merah
keluar maka sel darah mengalami krenasi (mengkerut).
IX.
Simpulan :
1. Peristiwa perubahan
bentuk pada sel darah merah bisa mengalami hemolisis dan krenasi.
2. Perubahan bentuk
pada sel darah merah di pengaruhi oleh keadaan hipertonik maupun hIpotonik.
3. Sel darah merah tidak berubah bentuk pada konsentrasi
Nacl 0,9%, karena sifatnya isotonik.
4. Hemolisis terjadi pada konsentrasi larutan Nacl dibawah 0,9%
5. Krenasi terjadi pada konsentrasi larutan Nacl diatas 0,9%
PERCOBAAN
: VII
I.
Judul Praktikum : Kontraksi Otot
Rangka pada Berbagai Intensitas
Rangsang
(Rangsang Tunggal dan Rangsang
Berturut-turut)
II. Tanggal
Praktikum :
30 Desember 2014
III. Tujuan
Praktikum :
Mempelajari dan memahami respon otot rangka
terhadap rangsang tunggal dengan intensitas
yang
berbeda dan pemberian dua rangsang
berturut-turut.
IV. Dasar
Teori :
Sistem
rangka adalah suatu sistem organ yang memberikan dukungan fisik pada mahkluk
hidup. Sistem rangka umumnya dibagi menjadi tiga tipe yaitu : eksternal,
internal dan basis cairan (rangka hidrostatik). Walaupun sistem rangka
hidrostatik dapat dikelompokkan secara terpisah dari dua jenis lainnya karena
tidak adanya struktur penunjang. Rangka manusia dibentuk dari tulang tunggal
atau gabungan ( seperti tengkorak) yang ditunjang oleh sstruktur lain seperti
ligament, tedon, otak dan organ lainnya.[25]
Kelelahan
adalah suatu fenomena fisiologsi, suatu proses terjadinya keadaan penurunan
toleransi terhadap kerja fisik. Penyebabnya sangat spesifik tergantuk pada
karakteristik kerja tersebut. Penyebab kelelahan dapat ditinjau dari aspek
anatomi berupa kelelahan sistem saraf pusat neuromaskular dan otot rangka, dan
aspek fungsi berupa kelelahan elektrokimia, metabolic, berkurangnya substrat
energy hiper / hipotemia dan dehidrasi.[26]
Kemampuan
kerja otot berupa kekuatan, umumnya yaitu kemampuan maksimum otot menghasilkan
gaya pada suatu kontraksi otot yang disebut muscle setengah dan daya tahan otot
dalam mempertahankan kontraksi (kerja otot) yang disebut sebagai muscle
endurance.[27]
ATP
merupakan satu-satunya sumber energi yang dapat secara langsung digunakan untuk
aktivitas otot. Pada saat berkontraksi ATP menempel pada filament meosin untuk
meyediakan energi yang diperlukan untuk menarikbfilamen aktin.dalam keadaan
tersebut energi kimia pada glukosa diubah menjadi energy kinetic (gerak). [28]
V. Alat
dan Bahan :
a.
Alat :
1. Alat
bedah
2. Alat
dekapasi
3. Kimograf
4. Pipa
b. Bahan
:
1. Larutan
ringer
2. Katak
(Rana esculenta)
3. Rak
bedah
4. Gelas
beker 100 ml
5. Jarum
sonde
6. Benang
kasur
VI. Cara
Kerja :
1.
Dipotong kepala katak dengan alat
dekapasi. Kemudian sumsum tulang ditusuk dengan sonde agar lemas.
2.
Kaki belakang katak dibedah dan otot
gastronemius diisolasi. Kemudian tendon Achilles diikat dengan benang dan
diletak pada tempat pada tempat preparat pada alat kemograf.
3.
Dengan memakai jarum dihubung satu ujung
otot dengan perspes bakh dan ujung yang lain dengan horizontal waiting lever.
4.
Ditempatkan elektroda pada otot
gastronemius otot tersebut harus selalu disiram dengan larutan ringer.
VII. Hasil
Pengamatan :
Gambar : Katak Utuh (Rana esculenta)
|
Keterangan
|
|
1. Mulut
2. Mata
3. Kepala
4. Tungkai
depan
5. Tungkai
belakang
6. Otot
|
Gambar : Katak (Rana esculenta) yang
dipotong kakinya
|
Katerangan
|
|
1. Mulut
2. Mata
3. Kepala
4. Tungkai
depan
5. Tungkai
belakang
6. Otot
|
VIII. Pembahasan :
Berdasarkan hasil pengamatan dapat diketahui bahwa
sistem rangka merupakan suatu sistem organ yang memberikan dukungan fisik pada
mahkluk hidup. Kemampuan kerja otot berupa kekuatan umumnya yaitu kemampuan
maksimum otot menghasilkan gaya pada suatu kontraksi otot. Rangsangan pada otot
dibedakan dalam beberapa bentuk yaitu : rangsang mekanik (pijitan, pukulan,
tarikan dll), rangsang kimia (larutan asam dan larutan basa) dan rangsang panas
( keadaan yang bersifat panas dan dingin).
Pengamatan dilakukan
pada spesies katak (Rana esculenta) untuk melihat kontraksi pada katak
menggunakan ukuran volt yang berbeda-beda yaitu dari terkecil 3 volt kemudian
4,5 volt sampai dengan 7,5 volt.
Hasil pengamatan
didapat pada rangsangan mekanik yaitu adanya rangsngan tunggal yaitu mengalami
sekali kontraksi dan sekali relaksasi. Sedangkan secra berturut-turut yaitu
tetap terjadi kontraksi seperti biasa tapi lama-kelamaan otot tidak bisa
relaksasi lagi sehingga menyebabkan keram. Sedangkan menggunakan rangsangan
kimia menggunakan garam yaitu mekanisme kontraksi yang terjadi secara
bertubi-tubi atau dalam waktu lama.
Kontraksi atau
rangsangan terjadi pada katak yaitu semakin besar volt yang digunakan semakin
tinggi pula rangsangan yang terjadi.
Kontraksi/rangsangan yang terjadi juga berhubungan dengan sel saraf, karena sel
saraf juga memberi rangsangan atau berpengaruh pada kontraksi otot, dan sel
saraf dan otot saling bekerja sama. Dan reflek yang terjadi dapat berangsang
pada sumsum tulang belakang.
IX.
Simpulan :
1. Sistem
gerak merupakan suatu sitem organ yang memberikan dukungan fisik pada mahkluk
hidup.
2. Kontraksi/Rangsangan
yang dilakukan pada katak menggunakan ukuran volt yang berbeda-beda yaitu 3
volt, 4,5 volt dan 7,5 volt.
3. Semakin
tinggi volt yang digunakan semakin tinggi pula rangsanagn yang terjadi.
4. Sel
saraf juga member rangsangan atau berpengaruh pada kontraksi otot, karena sel
saraf dan otot saling bekerja sama.
5. Reflek
yang terjadi dikarenakan berangsang pada sumsum tulang belakang.
DAFTAR PUSTAKA
Ajeng
Suci Fitria, “Analisis Kelulushidupan dan Pertumbuhan Benih Ikan Nila Larasati
(Oreochromis Niloticus) F5 D30-D70
Pada Berbagai Salinitas”, Jurnal Of
Aquaculture Management and Technology, Vol.
1, No. 1, 2012.
Arthur
C. Guyton., Fisiologi Manusia dan
Mekanisme Penyakit, Jakarta: EGC, 1996.
Asrar Fuad Rasfa., Evaluasi Beban Mental Masinis Kereta Api berdasrkan Subjective Wordload
Assesment Technique (SWAT) dan Aktivitas Amilase dan Air liur, Jurnal online
Institut Teknologi Nasional,Vol.1 No. 4,
Bagod Sudjadi., Biologi Sains dalam
kehidupan, Jakarta: Erlangga, 2001.
Bambang
Cahyono., Budi Daya Ikan di Perairan Umum,
Yogyakarta: Kanisius, 2001.
Diaz Hartadi,
dkk., Simulasi Penghitung Jumlah Sel Darah Merah, Journal Teknik Elektro UNDIP, Vol.
8, No.2, 2004.
Edi Yuwono,
dkk., Fisiologi Hewan Air, Jakarta:
Sagung Seto, 2001.
Elizabeth J. Corwin., Buku saku
Patofisiologi, Jakarta: EGC,
2007.
Ethel Sloane., Anatomi dan Fisiolgi untuk Pemula,
Jakarta: EGC, 2003.
Ibrahim, Biologi
Umum, Banda Aceh: Bandar Publishing, 2013.
Jenny Sunariani,
“Perubahan Konsentrasi IL-1 dan Gustducin Terhadap Rasa Pengecap Pahit Pada
Demam”, Jurnal Penelitian Media Eksakta,
Vol. 8, No. 3, 2005.
John
W. Kimball., Biologi Jilid 2 Edisi Kelima,
Jakarta: Erlangga, 1983.
Ketut Widya
Astuti, dkk., Difusi Natrium Diklofenak dalam Gel Methocel 400 pada berbagai pH,
Jurnal Kimia, Vol. 6, No. 1, 2012.
Laksmi
Sulmartini, dkk., Respon Daya Cerna dan Respirasi Benih Ikan Mas (Cryprinus carpio) Pasca Transportasi
dengan menggunakan Daun Bandotan (Ageratum
conyzoides) sebagai Bahan Antimetabolik, Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan, Vol. 1, No. 1, 2009.
Nanik Agustina,
dkk., Pengaruh Suhu Perendaman terhadap Keofesien Difusi dan Sifat Fisik Kacang
Merah (Phaseolus vulgaris L.), Jurnal Teknik Pertanian Lampung, Vol. 2, No
1, 2013.
Niken,subekti.,Kandungan Bahan Organik dan Akumulasi Mineral Tanah pada Bangunan Sarang Rayap Tanah Macrotermes
gilvus Hagen,
Jurnal
Biosatifika, Vol 4 No. 1,
Nur Baiti
Sholihah., Identifikasi Penyakit Thypus dengan Ananlisis Citra Darah Menggunakan Jaringan Saraf Tiruan, Jurnal Neutrino, Vol.3, No.1, 2010.
Sartje Lantu.,
“Osmoregulasi Pada Hewan Akuatik”, Jurnal
Perikanan dan Kelautan, Vol. 6, No. 1,
2010.
Siti Rudiyanti
dan Astri Diana Ekasari., Pertumbuhan dan Survivar Rute Ikan Mas (Cryprinus carpio Linn.) pada berbagai
Konsentrasi Pestisida Regent 0,3 G, Jurnal
Saintek Perikanan, Vol. 5, No. 1, 2009.
Sri Yuliani
Handoyo., Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis, Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2005.
Syaifuddin.,
Fisiologi Tubuh Manusia, Jakarta:
Salemba Medika, 2011
Yuliati, dkk., Perbedaan
Persepsi Pengecap Rasa Asin Antara Usia Subur dan Usia Lanjut, Jurnal Ilmu Faal Indonesia, vol. 6, No. 3,
2007.
Yushinta
Fujaya., Fisiologi Ikan Dasar
Pengembangan Tehnik Perikanan, Jakarta: Rineka Cipta, 2004.
[1] Arthur C. Guyton., Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit, (Jakarta: EGC, 1996),
hal. 33-34.
[2] Nanik Agustina, dkk., Pengaruh
Suhu Perendaman terhadap Keofesien Difusi dan Sifat Fisik Kacang Merah (Phaseolus vulgaris L.), Jurnal Teknik Pertanian Lampung, Vol. 2, No
1, 2013, hal. 40.
[3] Ketut Widya Astuti, dkk., Difusi
Natrium Diklofenak dalam Gel Methocel 400 pada berbagai pH, Jurnal Kimia, Vol. 6, No. 1, 2012, hal.
19-20.
[4] Ethel Sloane., Anatomi dan Fisiolgi untuk Pemula,
(Jakarta: EGC, 2003), hal. 42-43.
[6] Elizabeth J. Corwin., Buku saku Patofisiologi,
(Jakarta: EGC, 2007), hal 590.
[7] Asrar Fuad Rasfa., Evaluasi Beban Mental Masinis Kereta Api
berdasrkan Subjective
Wordload
Assesment Technique (SWAT) dan Aktivitas Amilase dan Air Liur, Jurnal online Institut Teknologi Nasional, Vol. 1 No. 4, hal 3.
[8] Niken Subekti., Kandungan Bahan Organik dan Akumulasi Mineral Tanah pada Bangunan Sarang Rayap Tanah
Macrotermes Gilvus
Hagen, Jurnal Biosatifika, Vol. 4, No. 1, hal 11.
[9] Ibrahim, Biologi Umum, (Banda
Aceh: Bandar Publishing, 2013), hal. 107.
[10] Jenny Sunariani, “Perubahan
Konsentrasi IL-1 dan Gustducin Terhadap Rasa Pengecap Pahit Pada Demam”, Jurnal Penelitian Media Eksakta, vol. 8, No.
3, 2005, hal. 159.
[11] Yuliati, dkk, “Perbedaan
Persepsi Pengecap Rasa Asin Antara Usia Subur dan Usia Lanjut”, Jurnal Ilmu Faal Indonesia, Vol. 6, No. 3,
2007, hal. 182.
[12] Sri Yuliani Handoyo, Anatomi dan
Fisiologi Untuk Paramedis, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005), hal. 312.
[13] Yushinta Fujaya., Fisiologi Ikan Dasar Pengembangan Tehnik
Perikanan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), hal. 103-115.
[14] Bambang Cahyono., Budi Daya Ikan di Perairan Umum,
(Yogyakarta: Kanisius, 2001), hal. 41-42.
[15] Laksmi Sulmartini, dkk., Respon
Daya Cerna dan Respirasi Benih Ikan Mas (Cryprinus
carpio) Pasca Transportasi dengan menggunakan Daun Bandotan (Ageratum conyzoides) sebagai Bahan
Antimetabolik, Jurnal Ilmiah Perikanan
dan Kelautan, Vol. 1, No. 1, 2009, hal. 84-85.
[16] Siti Rudiyanti dan Astri Diana
Ekasari., Pertumbuhan dan Survivar Rute Ikan Mas (Cryprinus carpio Linn.) pada berbagai Konsentrasi Pestisida Regent
0,3 G, Jurnal Saintek Perikanan, Vol. 5,
No. 1, 2009, hal. 46.
[17] Yushinta Fujaya, Fisiologi Ikan, (Jakarta: Rineka Cipta,
2004), hal. 75.
[19] Sartje lantu, “Osmoregulasi Pada
Hewan Akuatik”, Jurnal Perikanan dan
Kelautan, Vol. 6, No. 1, 2010, hal. 49.
[20] Ajeng Suci Fitria, “Analisis Kelulushidupan
dan Pertumbuhan Benih Ikan Nila Larasati (Oreochromis
Niloticus) F5 D30-D70 Pada Berbagai Salinitas”, Jurnal Of Aquaculture Management and Technology, Vol. 1, No. 1, 2012, hal. 10.
[21] John W. Kimball., Biologi Jilid 2 Edisi Kelima, (Jakarta:
Erlangga, 1983), hal 515-516.
[22] Diaz Hartadi, dkk., Simulasi
Penghitung Jumlah Sel Darah Merah, Journal
Teknik Elektro UNDIP, Vol. 8, No. 2,
Desember 2004, hal.3.
[23] Nur Baiti Sholihah.,
Identifikasi Penyakit Thypus dengan Ananlisis Citra Darah Menggunakan Jaringan
Saraf Tiruan, Jurnal Neutrino, Vol. 3, No. 1, Oktober 2010, hal 56.
[24]
Syaifuddin., Fisiologi Tubuh Manusia,
(Jakarta: Salemba Medika, 2011), hal. 26.
[25] Albertus Bobby
Irawan., Pembelajaran Biologi Mengenai Rangka Manusia, Jurnal Seminar Riset
Unggulan Nasional Informatika dan Komputer FTI, Vol.2, No.1, Maret 2013.
hal 3.
[26] Fanny Septiani, Peran H dalam Menimbulkan
Kelelahan Otot : Pengaruhnya pada Sediaan Otot Rangka (Rana sp.), Jurnal
Artikel Penelitian, Vol.60, No.4, april 2004, hal 178.
[27] Bloom, dkk., Histologi,
(Jakarta: Erlangga, 1994), hal 41.
[28] Suprianto., Biologi
2, (Semarang: Aneka Ilmu, 2000), hal 72.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar